6. Segitiga Restitusi
6. Segitiga Restitusi
Sebuah Cara
Menanamkan disiplin positif Pada Murid
Restitusi
adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan
mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang
lebih kuat (Gossen; 2004)
Restitusi
juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi
untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang
mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom
Gossen, 1996).
Restitusi
membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan
dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku
untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya
adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka
percayai. Sebelumnya kita telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada
dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.
Melalui
restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang
memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat
mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga
dirinya. Restitusi menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang
telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William
Glasser tentang solusi menang-menang.
Ada
peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan
kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid
perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga
dapat memilih untuk belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik
di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka,
murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga
untuk hidup mereka.
Di
bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin
lainnya.
Restitusi
bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan
Dalam
restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak mengarahkan untuk menebus
kesalahan dengan membayar sejumlah uang, memperbaiki kerugian yang timbul, atau
sekedar meminta maaf. Karena kalau fokusnya kesana, maka murid yang berbuat
salah akan fokus pada tindakan untuk menebus kesalahan dan menghindari
ketidaknyamanan, yang bersifat eksternal, bukannya pada upaya perbaikan
diri, yang lebih bersifat internal. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang
yang berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga merasa
lega, dan seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.
Terkadang
bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang yang berbuat salah
sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan sesuatu untuk menebus
kesalahannya. Kalau tindakan untuk menebus kesalahan dipahami sebagai hukuman,
maka mungkin mereka berpikir untuk membuat situasinya menjadi impas.
Pembalasan seperti ini akan berdampak jangka panjang karena konfliknya akan
tetap ada. Menebus kesalahan itu tidak salah, namun biasanya tidak membuat kita
menjadi pribadi yang lebih kuat.
Restitusi
sebenarnya juga meliputi usaha untuk menebus kesalahan, tetapi sebaiknya
merupakan inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan. Proses pemulihan akan
terjadi bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk melakukan
sesuatu yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya pada
mengurangi kerugian pada korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih
baik dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada dalam diri
kita.
Ketika
murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa depan, mereka
akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai terus menerus di masa depan
untuk menjadi orang yang lebih baik.
Ø Restitusi adalah proses menciptakan
kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, Ada peluang luar biasa
bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan kesalahan, bukankah pada
hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab
atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat memilih untuk belajar
dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang.
Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan
kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup
mereka.
Restitusi
memperbaiki hubungan
Restitusi
adalah tentang memperbaiki hubungan dan memperkuatnya. Restitusi juga membantu
murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana
mereka ingin diperlakukan. Restitusi adalah proses refleksi dan pemulihan.
Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid untuk menjadi jujur pada
diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari tindakan mereka pada orang
lain. Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa
mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahan mereka
pada orang yang menjadi korban.
Restitusi
adalah tawaran, bukan paksaan
Restitusi
yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi konsekuensi. Bila guru
memaksa proses restitusi, maka murid akan bertanya, apa yang akan terjadi kalau
saya tidak melakukannya. Misalnya mereka sebenarnya tidak suka konsekuensi yang
guru sarankan, mereka mungkin akan setuju dan akan melakukannya, tapi karena
mereka menghindari ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan kebebasan atau
diasingkan dari kelompok. Mereka akan percaya kalau mereka menyakiti orang,
maka mereka juga tersakiti, maka mereka pikir itu impas. Seorang anak yang
memukul temannya akan mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar impas”.
Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu
kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk
menciptakan kondisi yang membuat murid bersedia menyelesaikan masalah dan
berbuat lebih baik lagi, dengan berkata, “Tidak apa-apa kok berbuat salah itu
manusiawi. Semua orang pasti pernah berbuat salah”. Pembicaraan ini bersifat
tawaran, bukan paksaan, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak
maka…”
Restitusi
menuntun untuk melihat ke dalam diri
Dalam
proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan antara tindakan
murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang orang seperti apa yang
mereka inginkan. Untuk membimbing proses pemulihan diri, guru bisa bertanya
pada mereka:
o Kamu
ingin menjadi orang seperti apa?
o Kamu
akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa kalau kamu sudah menjadi orang
yang seperti itu?
o Apa
yang kamu percaya tentang bagaimana orang harus memperlakukan orang lain?
o Bagaimana
kamu mau diperlakukan ketika kamu berbuat salah?
o Apa
nilai yang diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu memegang nilai
ini?
o Kalau
tidak, lalu apa yang kamu percaya?
Kita
tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya seperti
itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah murid, maka guru harus
cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa kok berbuat salah”.
Ketika
murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang mereka
inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya, seberapa sering
hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, ia berada di mana. Murid
tidak akan berbohong pada guru.
Restitusi
mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan
Untuk
berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk
memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Kalau murid paham bahwa
setiap orang memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat
membantu, sehingga ketika murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari
kebutuhan apa yang sedang mereka coba penuhi, demikian juga kebutuhan orang
lain.
Untuk
membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta mereka mengenali
perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian menunjukkan adanya kebutuhan cinta
dan kasih sayang yang tidak terpenuhi. Perasaan dipaksa, atau terlalu banyak
beban, menunjukkan kurangnya kebutuhan akan kebebasan. Perasaan takut
akan kelelahan, kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman.
Perasaan bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan kesenangan.
Restitusi
diri adalah cara yang paling baik
Dalam
restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari kecenderungan untuk
mengomentari orang lain, menjadi mengomentari diri sendiri. Dr. William
Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, orang
yang tidak bahagia akan mengevaluasi orang lain.
3
Tahap Evaluasi Diri:
1. Saya tidak suka cara saya berbicara padamu
2. Kesalahan yang saya lakukan adalah
- Saya sebenarnya punya informasi yang
kamu butuhkan
- Saya lelah dan saya bicara terlalu
cepat
- Saya tidak jelas menyampaikan apa yang
saya inginkan
- Pemahaman saya berbeda dengan
pemahamanmu
3. Besok lagi saya akan
- Menyampaikan informasi yang saya punya
dan kamu butuhkan
- Saya akan bicara lebih lambat
- Saya akan bicara lebih jelas tentang
keinginan saya
- Menyampaikan pemahaman saya padamu
Ketika
murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa mengontrol dirinya
dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.
Ketika
Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri, maka 9 dari 10
orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri juga. Mungkin akan
ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan menggunakan kesempatan itu
untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi, tanyakan saja, apakah Anda mau
menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat
situasi ini menjadi lebih baik. Anda mau ke arah mana?
Restitusi
fokus pada karakter bukan tindakan
Dalam
proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi orang yang
seperti apa, yang itu adalah menunjukkan fokus pada penguatan karakter. Ketika
guru membimbing murid untuk penguatan karakter, guru akan mengatakan,
“Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa yang kamu lakukan hari ini,
tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan kamu lakukan besok. Kamu
bisa saja minta maaf, tapi orang akan lebih suka mendengar apa yang akan kamu
lakukan dengan lebih baik lagi.
Restitusi
menguatkan
Bisakah
momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi sebuah momen yang baik?
Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari kesalahan itu. Apa maksud
dari kalimat kita bisa lebih kuat setelah kita belajar dari kesalahan? Lebih
kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan kita dalam-dalam. Kuat disini artinya
menyadari apa yang bisa murid ubah, dan murid benar-benar mengubahnya. Guru
bisa bertanya, apa yang dapat kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu
akan berubah?
Restitusi
fokus pada solusi
Dalam
restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan mengatakan, “Kita
tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk mencari siapa yang
benar, siapa yang salah.
Restitusi
mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya
Mari
kita lihat praktik pendidikan kita yang seringkali memisahkan anak-anak dari
kelompoknya, misalnya seorang anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat
kegiatan mendengar dongeng dari gurunya, anak itu disuruh keluar dari
kelompoknya, atau anak itu diminta duduk di belakang kelas atau di pojok kelas,
disuruh keluar kelas ke koridor, ke kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa
pengawasan.
Kalau
ada anak remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah. Padahal kalau mereka
jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka dan
mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Kalau mereka tidak belajar,
bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita, maka
mereka akan putus hubungan dengan kita.
Ketika
anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita
hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka.
Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka, dan
berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter yang lebih
kuat.
Disarikan
dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline using Restitution, Third
Edition, Diane Gossen, 2008
Comments
Post a Comment